Pengunjung Website
Hari Ini: 5,596
Minggu Ini: 57,865
Bulan Ini: 505,138
|
Jumlah Pengunjung: 7,003,896

SKADRON 7 (Lanud Suryadarma)

Letnan Kolonel Pnb Yanwar Effendhi

Komandan Skadron Udara 7

Letnan Kolonel Pnb Yanwar Effendhi (Lahir di Semarang, 2 Januari 1979) merupakan lulusan AAU tahun 2000. menjadi Komandan Skadron Udara 7 Wing 8 Lanud Suryadarma, pada tanggal 9 Mei 2018 sampai sekarang.

Skadron Udara 7 lahir seiring dengan lahirnya Wing Operasi 004 Helikopter pada tanggal 25 Mei 1965, sebagai wadah bagi pesawat-pesawat Mi-4 dan SM-1 serta semua jenis helikopter Bell sebagai pesawat angkut khusus. Ketika didirikan yang dipercaya untuk memimpin Skadron Udara 7 adalah Letnan Udara Satu Achmad Aulia Suratno dengan perwira tekniknya LU I Suhardjito.
Secara historis terbentuknya Skadron Udara 7 dan Wing Operasi 004 memiliki ikatan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan, sebab keduanya dilahirkan pada waktu yang bersamaan sebagai pengembangan dari Skadron 6 Helikopter. Pada saat itu AURI menginginkan agar memiliki wadah yang lebih memadai bagi pesawat-pesawat helikopter yang terus bertambah banyak, sekaligus mampu mengkoordinir berbagai bentuk kegiatan operasi yang semakin kompleks.

Setelah diresmikan pembentukannya, selama kurun waktu tahun 1965 sampai 1970, Skadron Udara 7 terus menata kelembagaan dan administrasinya. Salah satu upaya yang dilaksanakan terutama dalam mendukung satuan tugas Wing Operasi 004 Helikopter. Selain mengemban tugas rutin, operasi militer dan tugas-tugas lain, Skadron 7 mendidik juga para calon penerbang pesawat helikopter, adapun pesawat helikopter yang digunakan SM-1 dan SM-4. Pada akhir tahun 1965 Skadron Udara 7 dihadapkan dengan tugas untuk melakukan Operasi Penegak di daerah Jawa Barat dan Operasi Mental di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Operasi ini dimaksudkan sebagai tindak lanjut untuk menghancurkan sisa-sisa kekuatan G-30s/PKI. Dalam mendukung operasi ini dikerahkan satu buah pesawat jenis Bell-204B dan tiga buah MI-4.

Selepas Operasi Penegak dan Mental, Skadron Udara 7 diberi kepercayaan untuk ambil bagian pada Operasi Samber Kilat. Operasi ini dimaksudkan untuk mendukung Operasi Sapu Bersih yang dilaksanakan Kodam XII Tanjungpura dalam menumpas gerombolan bersenjata Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku). Kekuatan dari kedua gerombolan ini tersebar di seluruh Kalimantan Barat dan di sepanjang perbatasan.

Untuk melaksanakan Operasi Samber Kilat ditugaskan dua buah pesawat jenis Bell-204B ditambah empat buah jenis MI 4 diantaranya dari Skadron Udara 6. Tugas yang dilakukan meliputi dropping pasukan ke daerah sasaran, dropping bantuan logistik, angkutanVIP atau pesawat Kodal, evakuasi medis dan recce flight.

Operasi ini berakhir pada bulan September 1968 dan behasil dengan baik, bahkan atas keberhasilan ini Pangdam XII Tanjugnpura, Brigjen AY. Witono, memberi julukan “Angel of the field” kepada pesawat-pesawat helikopter.
Namun meskipun dinyatakan berhasil dalam operasi ini terjadi musibah terhadap pesawat beregister H 225 di Sungkung pada tanggal 27

Januari 1967. Pada waktu itu pesawat Kapten Pilot Kapten Udara Supandi dan LU FX. Suwarno sebagai Co pilot, sedang bertugas mengirimkan bantuan logistik bagi pasukan di Sungkung.

Disamping melaksanakan operasi militer dalam kurun waktu 1965 – 1970 Skadron Udara 7 terlibat pada beberapa kegiatan kemanusiaan. Pengiriman pesawat-pesawat untuk program kemanusiaan ini dimaksudkan sebagai perhatian dan kepedulian Angkatan Udara terhadap permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat.

Pada bulan November 1965 saat kapal Norwegia Corval mengalami kandas di Ujung Kulon, Pantai Selatan Banten, Skadron Udara 7 diminta memberikan pertolongan penyelamatan bagi para penumpang. Tugas ini dilaksanakan dengan baik oleh pesawat SM I bersama MI 1 dari Skadron Udara 6. Operasi lainnya, selama dua minggu, mulai 19 Januari 1966, dikirim satu buah pesawat Bell 47G-2 Trooper untuk membantu usaha pembasmian hama tanaman kelapa di daerah Rembang. Di tahun yang sama tepatnya pada tanggal 19 September 1966 pesawat-pesawat yang dimiliki Skadron Udara 7 terlibat dalam Kowilu IV untuk melaksanakan tugas SAR di daerah Blitar dan Kediri untuk membantu menanggulangi musibah akibat bencana alam Gunung Kelud yang meletus.

Selain tugas-tugas operasi Skadron Udara 7 mengembangkan kerja sama dengan pihak luar melaksanakan pendidikan dan pelatihan seperti yang terjadi pada akhir tahun 1966, tepatnya mulai bulan November 1966 sampai dengan Februari 1967. Pada saat itu memberikan latihan kepada enam orang penerbang dan 15 orang teknisi dari Lembaga Pariwisata Indonesia (Gatari) dengan menggunakan Bell-204B.

Periode ini, tepatnya tahun 1967 dilaksanakan relokasi berupa penarikan kembali semua pesawat helikopter yang ada pada unit Istana Kepresidenan atas Instruksi Menteri/Panglima AU. Pesawat-pesawat tersebut adalah jenis SM1, S-58, Bell-204B dan 2 buah Bell-47J, yang dimasukkan dalam kekuatan Skadron 7. Sekalipun disibukkan dengan keterlibatan pada berbagai operasi baik itu operasi militer maupun operasi kemanusiaan, Skadron 7 tetap berupaya melakukan peningkatan kemampuan personelnya. Disamping dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan para personel, pelatihan-pelatihan tersebut merupakan kesempatan bagi personel dalam rangka mengembangkan kariernya. Tahun 1968 mengirimkan dua orang perwira teknik ke Amerika Serikat untuk mempelajari sistem pemeliharaan komponen pesawat Bell-204B “Jet Ranger”. Pengiriman personel ini merupakan bagian dari kerja sama dengan PN. Aerial Survey.

Kesulitan Suku Cadang (1971-1975)

Lingkup Wing Operasi 004 pada akhir tahun 1970 dihadapkan pada permasalahan kesulitan mencari suku cadang pesawat, sehingga tidak memungkinkan lagi untuk melaksanakan penerbangan. Sekalipun kondisi sulit, pemeliharaan keutuhan organisasi terus dilakukan dan salah satunya melalui alih tugas jabatan. Pada tanggal 23 Juni 1971 terjadi serah terima jabatan Komandan Wing Ops 004 dari Mayor Udara S.P Oetomo kepada Mayor Udara Maman Suparman. Serah terima jabatan juga terjadi pada Komandan Skadron 7 dari Mayor Udara Sugiarto kepada Mayor Udara Supandi yang terjadi pada tanggal 22 September 1971.

Kesulitan akan suku cadang ini dirasakan juga oleh pesawat-pesawat Skadron 7 yang rata-rata memasuki usia tua, terutama pesawat-pesawat yang berasal dari Eropa Timur. Langkah lain dalam mengantisipasi pemeliharaan pesawat-pesawat yang mulai menua ini adalah dengan mengirimkan personel-personelnya mengikuti pendidikan dan latihan, seperti yang dilakukan pada tahun 1970-1972. Dalam tiga tahun berturut-turut dilakukan pengiriman personel ke 5th Squadron di RAAF Fairbairn Base, Canberra. Pengiriman ini dimaksudkan dalam rangka menambah pengetahuan mengenai pemeliharaan atau pengelolaan pesawat jenis Bell 204B. Hasil dari pelatihan tersebut mengenal sistem pemeliharaan komponen yang disebut By Servicing.

Kemudian pada tahun 1972 kembali dikirim personel ke Helly Orient Pty, Singapura, dengan maksud melakukan kunjungan dan dalam rangka mempelajari kemungkinan pelaksanaan Inspections and Repair As Necessary (IRAN) khusus untuk menangani Bell 204B.
Pada tahun 1972 dilakukan rehabilitasi pesawat –pesawat jenis Bell 47G 2 Trooper dan Bell 47 J “Ranger” dalam pertimbangan usia pesawat yang mulai tua serta upaya menyesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Setelah selesai pesawat-pesawat ini kemudian dioperasikan oleh PN. Aerial Survey, sebagai bagian dari kerjasama. Mengawali kerja samanya dengan PN. Aerial Survey, bulan Januari 1971, melaksanakan survey pabrik gula dan perkebunan tebu di Pulau Jawa. Survey ini dilakukan selama satu tahun dengan menggunakan pesawat jenis Bell 47 J “Ranger”.

Masih dalam rangka kerja sama dengan PN. Aerial Survey, pada bulan Juni 1971 mengadakan survey bahan-bahan mineral (pasir besi) di sepanjang pantai selatan Jawa Barat, selama tidak kurang satu setengah bulan menggunakan pesawat Bell 47J Ranger. Periode 1971 sampai 1975 Skadron Udara 7 turut berpartisipasi pada operasi Wisnu, yang merupakan tindak lanjut Operasi Samber Kilat untuk menumpas gerombolan bersenjata PGRS/Paraku, di daerah Kalimantan Barat. Operasi ini dimulai pada bulan September 1972, yang pada awalnya menggunakan pesawat Bell 204B Iroquois, baru pada bulan Mei 1973 diperkuat dengan tiga buah pesawat tambahan UH 34D Sikorsky milik Skadron Udara 6. Tahun 1975 pesawat Iroquois ditarik total dari operasi tersebut untuk kemudian digantikan Sikorsky.
Operasi pesawat-pesawat helikopter ini berhasil menembak mati tokoh G30S/PKI daerah Kalimantan Barat, yaitu Sofyan. Sebelum ditembak, dilakukan pengejaran dari Pontianak sampai Tarenteng. Jenazahnya kemudian diangkut ke Pontianak menggunakan Bell 204B Iroquois. Skadron Udara 7 kembali mengalami nasib naas setelah pesawat Huges 500 dengan Kapten Pilot Kapten Pnb I Mulyadi mengalami kecelakaan di Sentani Irian. Pada saat itu pesawat tersebut sedang dioperasikan Pelita Air Service yang melakukan survey seismik di Irian Jaya. Pesawat terjatuh dan menggugurkan Mulyadi.

Sekalipun disibukkan dengan berbagai tugas dalam melakukan operasi militer maupun kerja sama dengan pihak-pihak luar, pesawat-pesawat Skadron Udara 7 masih mampu mengikuti latihan-latihan. Latihan dimaksudkan untuk mempertahankan kemampuan jam terbang para personil. Salah satu yang diikutinya adalah latihan gabungan ABRI, dengan melibatkan komando-komando daerah udara sejak tahun 1974.

Skadron Udara 7 pada unjuk keterampilan ini mengikutsertakan pesawat Bell 204B Iroquois dan bergabung dengan pesawat-pesawat lainnya seperti SA-330 Puma, UH-34D Sikorsky dan S 58T Twin Pac dari Skadud lain. Setelah latihan berjalan setahun, tepatnya pada tahun 1975, terjadi kecelakaan pesawat Mustang usai mengikuti latihan gabungan di sekitar Landasan Udara Branti. Dalam musibah tersebut pesawat Iroquois berhasil memberikan pertolongan.

Masa Penuh Tantangan (1976-1980)

Memasuki periode tahun 1971-1975 seluruh satuan Wing Ops 004 dihadapkan dengan tugas-tugas berat dalam upaya mendukung stabilitas negara dan keamanan masyarakat. Skadron Udara 7 sebagai satuan pelaksana tugas mendapat perintah untuk turut serta pada Operasi Tonggak di daerah perbatasan Kalimantan Timur bersama-sama pemerintah Malaysia. Pada saat itu dikerahkan pesawat Bell 204B untuk membuat tonggak-tonggak pembatas yang memisahkan RI dengan negara tetangga Malaysia mulai tanggal 2 April 1976 dan sebagai home base-nya di daerah Tarakan. Sedangkan untuk di sebelah Barat tepatnya di perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak dilakukan operasi sejenis yang dilaksanakan oleh pesawat UH 34D dengan home base-nya di Pontianak. Berdasarkan cerita Marsekal Pertama Purn. Djoko Winarko, mantan Komandan Skadron Udara 7 periode 1986-1988 yang telibat langsung pada operasi tersebut, medan pada operasi tersebut sangat berat. Setiap pilot disamping dituntut untuk memiliki skill yang tinggi, juga harus memiliki ketenangan dan rasa percaya diri. Pada waktu itu Djoko diberi tugas untuk melakukan pematokan di sekitar perbatasan antara Kalimantan Barat dengan Serawak, namun diyakininya kondisi hutan Kalimantan, baik itu di Kalimantan Barat maupun Kalimantan Timur sama saja.

Setiap Pilot pesawat yang terlibat dalam Opersi Tonggak ini juga harus memiliki mental baja, sebab hutan yang masih liar dengan ketinggian pohon yang menjulang merupakan ancaman yang sewaktu-waktu dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan. Untuk melakukan landing, pesawat harus melakukan manuver secara vertikal atau tegak lurus melewati celah-celah pohon. Sebetulnya apabila melihat kondisi alam, Djoko merasa tidak yakin akan melakukan pendaratan di atas landasan balok-balok yang telah disediakan. Hanya berbekal koordinat pada akhirnya pesawat yang diawakinya dapat memasok patok-patok raksasa ini kepada pasukan AD yang bertugas memasangnya. Operasi berakhir pada bulan Pebruari 1977.

Sementara itu pesawat-pesawat masih dalam melaksanakan tugas operasi, terjadi serah terima jabatan Komandan Skadron Udara 7 dari Mayor Pnb Supandi kepada Mayor Pnb Komar Somawirya, yang sebelumnya ditugaskan di PT. Pelita Air Service, pada tanggal 22 Mei 1976. Penggantian pimpinan ini merupakan bagian dari alih tugas komandan di lingkup Wing Ops 004.

Setahun setelah menjabat menjadi Komandan, Mayor Pnb Komar Somawirya turut terlibat dalam upaya membantu memulihkan kekacauan dan gejolak sosial yang timbul akibat adanya Gerakan Pengacau Liar (GPL) yang dipimpin oleh Martin Tabu. Skadron Udara 7 mengirimkan sebuah Bell 204B pada bulan Maret 1977 dan tiga buah pesawat lagi menyusul kemudian. Pesawat-pesawat yang bergabung ini melaksanakan squadron move untuk melakukan tugas Operasi Tumpas. Operasi ini tergolong berat dan pada saat itu tugas-tugas yang harus dilaksanakan adalah mobilitas udara, angkutan logistik, evakuasi medis, SAR dan lain sebagainya.

Sepanjang melaksanakan tugas di Irian Jaya diwarnai drama penyanderaan oleh pihak gerombolan pengacau keamanan di daerah James dan Waris. Pada waktu itu pesawatBell 204B harus dapat membebaskan sandera yang terdiri dari Danrem Kolonel Ismail, Ketua DPRD Jayapura dan beberapa pejabat lainnya. Sebelumnya gerombolan telah membunuh dua penerbang TNI AD dan membakar pesawat BO 105 milik Penerbad. Dengan kejadian ini operasi pembebasan sandera yang dipimpin langsung Komandan Skadron Udara 7 sangat menegangkan. Berkat kemampuan dan keuletan yang disertai disiplin tinggi dari para anggota yang terlibat, akhirnya sandera dapat dibebaskan dengan selamat.

Kemampuan Bell 204B Iroquois kembali diuji ketika ditugaskan berpartisipasi pada Operasi Seroja di Timor-Timur, yang dilakukan sejak tahun 1977. Operasi dimaksudkan untuk membantu warga masyarakat Bumi Loro Sae mewujudkan keinginannya berintegrasi ke negara kesatuan RI. Namun karena diantara warga ada yang tidak sependapat dan mengangkat senjata untuk menentangnya terjadilah pertempuran. Pada saat pesawat-pesawat helikopter ditugaskan untuk dropping pasukan dan logistik, evakuasi medis, tugas-tugas SAR angkutan VIP serta lain sebagainya.

Suasana yang terjadi pada Operasi Seroja ini berbeda dengan penumpasan kaum pemberontak, sebab kekuatan militer TNI harus berhadapan dengan tentara Fretilin, kelompok yang menentang integrasi dalam medan pertempuran. Suasana pertempuran begitu jelas dengan berondongan senapan mesin dan bergelimpangannya korban bermandikan darah diterjang peluru.

Lettu Lek R. Yeyet Drajat mengungkapkan pengalamannya ketika terlibat langsung dalam opersi tersebut, di mana pesawat Bell 204B yang diawakinya hilir mudik memberikan evakuasi medis. Suatu saat bersama dengan awak lainnya harus mengambil personil TNI berpangkat Peltu, yang malam sebelumnya terkena percikan granat pada lehernya. Korban sepertinya tidak akan mampu bertahan lebih lama karena lukanya sangat dalam dan hampir memutuskan tenggorokan. Darah kering nampak menghitam dibalut dengan kain seadanya.

R. Yeyet Drajat merasa iba apabila memperhatikan nasib personil TNI tersebut. Kalau saja salah satu sanak keluarga korban melihat kondisi seperti itu mungkin bukan saja menjadi kenangan pahit tetapi luka yang tidak pernah sembuh. Namun itulah resiko sebagai prajurit dan keluarga yang harus senantiasa mampu menerima kenyataan.

Sekalipun pesawat-pesawat Skadron Udara 7 tidak lagi terlibat Operasi Seroja, tetapi pertumpahan darah di Tim-Tim ini terus berlangsung sampai pada akhirnya Loro Sae terlepas dari pangkuan Ibu Pertiwi pada tahun 1999 melalui referendum.

Ketegasan dalam operasi-operasi militer telah mendorong semangat personil Skadron Udara 7 untuk terus meningkatkan kemampuan terbangnya. Para personil yang ditugaskan dalam operasi diharuskan mengikuti latihan-latihan, baik itu yang dilaksanakan antar satuan Wing Ops 004 maupun lingkup TNI AU. Salah satu latihan yang diikuti pada periode ini adalah latihan bersama dengan negara-negara Asean, yang diikutinya se4jak tahun 1978. Pada latihan ini dari kekuatan Helikopter yang turut terlibat adalah SA-Puma , S 58T Twin pac dan Bell 204B Iroquois, seperti ketika pada latihan dengan angkatan bersenjata Diraja Malaysia yang diberi nama Elang Malindo. Latihan ini dilaksanakan di Kuching, tahun 1979.

Dengan adanya berbagai latihan ini dimaksudkan agar kesatuan-kesatuan di lingkungan TNI AU, khususnya satuan Skadron Udara 7 selalu dalam kondisi siap melaksanakan penugasan-penugasan dari pimpinan.

Modifikasi Bell 47-G “Soloy” (1981-1985)

Wing Ops 004 pada tahun 1981 melaksanakan pergantian hampir semua pimpinan di lingkungan satuan tugas dan dinas termasuk yang terjadi di Satuan Skadud 7. Letnan Kolonel Pnb Kosar Suryana, yang sebelumnya menjabat perwira operasi menerima jabatan Komandan dari Letkol Pnb Iskandar, yang kemudian ditugaskan pada dinas operasi Pangkalan Udara Husein Sastranegara Bandung.

Masih pada era tersebut, tepatnya bulan Mei terjadi kembali serah terima Komandan Skadron Udara 7 dari Letkol Pnb Kosar Suryana, yang mendapat jabatan baru sebagai Kepala Dinas Operasi Lanuma Husein Sastranegara, kepada Mayor Pnb Henky Dauhan, yang baru

menyelesaikan pendidikan di Sesko ABRI bagian Udara.

Tahun 1982 terjadi musibah bencana alam meletusnya Gunung Galunggung di Jawa Barat. Skadud 7 mengikutsertakan pesawat Bell 204B Iroquois sebagai pesawat pendukung pesawat lain seperti SA-330 Puma dan S-58T Twin Pac untuk melakukan evakuasi korban dari tempat bencana dan distribusi perbekalan.

Masih pada tahun 1982, Skadron Udara 7 menerima hibah 12 buah pesawat Hughes-500 dari PT. Pelita Air Sevice. Sebelum diserahkan pesawat-pesawat ini sebetulnya sudah dioperasionalkan oleh personil-personil TNI AU, sehingga ketika pesawat diserahterimakan, kondisi dan kemampuan terbangnya telah dipahami. Pesawat ini untuk kemudian digunakan bagi keperluan pendidikan siswa Sekbang jurusan Helikopter latih lanjut.

Pesawat-pesawat Skadron Udara 7 kemudian diminta untuk turut berpartisipasi unjuk keterampilan pada serah terima Panglima ABRI dari Jenderal TNI M. Yusuf kepada Jenderal L.B Moerdani. Pada saat itu yang dikirim merupakan pesawat-pesawat latih Bell-47G3B1 Sioux. Bagi Sioux penampilannya di depan masyarakat umum ini merupakan yang terakhir, sebelum akhirnya masuk hanggar untuk dimodifikasi.

Sesuai rencana agar Sioux tetap mampu menyesuaikan dengan kebutuhan, pada tahun 1983 sampai 1984 dikirim personil ke Australia tempat asal Sioux, dengan maksud mendalami pemeliharaan termasuk yang ada kaitannya modifikasi menjadi “Soloy”. Sekembalinya ke tanah air para personil yang telah mendapatkan pembekalan ini langsung melaksanakan modifikasi Bell 47G3B1 Sioux menjadi keperluan pendidikan para siswa sekolah penerbang jurusan Helikopter dasar.

Operasi Boyong (1986-1990)

Dekade 1980-an Skadron Udara 7 difokuskan menjadi satuan pendukung Angkatan Udara yaitu melaksanakan pendidikan bagi siswa Sekbang jurusan Helikopter, yang sudah dirintis sejak tahun 1979. Kehadiran pesawat-pesawat Bell-47G Soloy hasil modifikasi dan Hughes 500 hibah dari PT.Pelita Air Service menjadi pesawat latih bagi keperluan pendidikan. Namun kemudian hanya pesawat Soloy saja yang memenuhi harapan sebagai pesawat latih, karena pada akhirnya Hughes 500 sudah jarang dioperasionalkan sebagai akibat turunnya kemampuan terbang yang dimilikinya.

Dengan memfokuskan diri pada pendidikan Sekbang yang terus mengalami perkembangan, Skadron Udara 7 memindahkan home base ke Pangkalan Udara Kalijati (pada waktu itu). Latar belakang niat hijrah ini guna mendukung fasilitas pendidikan terutama keberadaan pangkalan yang lebih leluasa. PAU Atang Sendjaja seakan semakin mengecil dengan bertambahnya pesawat dan volume kegiatan, karena selain Skadron Udara 7 terdapat pula Skadron Udara 6 dan 8.

Dipilihnya Pangkalan Udara Kalijati didasari oleh pertimbangan medan, yang dapat dimanfaatkan oleh pesawat-pesawat Skadron Udara 7 untuk latihan terbang. Selain itu kehadirannya menghidupkan kembali Kalijati yang memiliki nilai historis bagi perkembangan kedirgantaraan di Nusantara, khususnya untuk TNI Angkatan Udara.

Setelah melalui perencanaan yang matang, tepat pada hari Senin, 17 April 1989, rombongan tahap pertama dari tiga gelombang, meninggalkan PAU Atang Sendjaja menuju Kalijati. Sedangkan pada tahap-tahap selanjutnya dilaksanakan pada tanggal 11 dan 13 Juni 1990. Perpindahan Skadron Udara 7 ini dikenal dengan nama “Operasi Boyong 7”.

Sebagai warga baru di Kalijati selama enam bulan pertama sejak kepindahan praktis tidak melakukan penerbangan, kecuali pemeliharaan pesawat. Kegiatan personil lebih banyak difokuskan pada upaya pembenahan sarana, termasuk menghidupkan kembali sarana bahan bakar minyak, sarana pembantu dan logistik yang telah lama mati.

Dengan telah dijadikannya Kalijati sebagai home base, selanjutnya diputuskan Skadron Udara 7 menjadi satuan pelaksana tugas Pangkalan Udara Kalijati atas dasar Keputusan KSAU nomor Kep?19/XI/1990. Melalui keputusan ini, maka untuk kemudian setiap penugasan operasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab Komandan Pangkalan TNI AU Kalijati (sekarang Lanud Suryadarma).

Seputar “Operasi Boyong 7”

Berita tentang rencana boyongnya Skadron Udara 7 ke Lanud Kalijati (sekarang Lanud Suryadarma) mengharuskan Lanud tersebut berbenah diri guna menyambut kedatangan salah satu Skadron Helikopter tersebut. Fasilitas penerbangan merupakan sarana yang paling mendapat perhatian, sehingga menampakkan kesibukan para pekerja yang hilir mudik diantara personil yang berseragan TNI AU. Beruntung semua fasilitas sudah terbangun dan tinggal dihidupkan kembali setelah lama sepi dari kegiatan penerbangan.

Dengan segala keterbatasan sarana dan perlengkapan yang terus di laksanakan penyempurnaan, sebagian pesawat Bell 47 G Soloy dan Hughes 500 C berikut beberapa penerbang dan teknisi melaksanakan penugasan di Lanud Kalijati. Kegiatan tersebut pada umumnya di laksanakan selama 2 minggu sampai 1 bulan, untuk selanjutnya dilaksanakan pertukaran awak pesawat. Hal ini terjadi karena seluruh awak pesawatnya masih bertempat tinggal di Lanud Atang Sendjaja. Namun demikian kesibukan mempersiapkan boyongan semakin hari semakin meningkat. Hal ini dirasakan oleh Suripto salah satu anggota Skadron Teknik 024 yang kebetulan mendapat tugas di Kalijati.untuk mendukung empat pesawat Hughes-500 C dan Bell-47 G Soloy yang sedang melaksanakan penerbangan.

Di dalam hanggar yang masih dalam kondisi darurat dan beratap seng sebagai tempat parkir pesawat, Suripto sibuk memeriksa kondisi pesawat Hughes 500 C yang baru menyelesaikan tugas penerbangan. Baju dinasnya dibiarkan terbuka untuk menghindari kegerahan akibat udara panas Kalijati. Namun dalam pikirannya muncul berbagai pertanyaan mengenai kegiatan aflos crew yang tidak kunjung datang, padahal sesuai jadwal tugasnya mendukung kegiatan penerbangan sudah selesai dan biasanya hanya 2 minggu harus kembali ke Atang Sendjaja. Di tengah-tengah kegalauannya muncul keyakinan bahwa rekan-rekannya belum menggantikan tugasnya karena sedang sibuk menyiapkan rencana kepindahan Skadron Udara 7 sebagaimana yang telah direncanakan.

Ketika Suripto mendapat kesempatan untuk pulang ke Atang Sendjaja, keyakinannya ternyata tidak meleset karena sesampainya di Bogor didapatinya para tetangganya sudah mempersiapkan kepindahannya sambil membereskan barang-barang rumah tangganya, sedangkan keluarganya masih tenang-tenang, belum bersiap-siap sama sekali apalagi membereskan perabot rumah tangganya.

Apabila di perumahan kesibukan keluarga besar Skadron Udara 7 membereskan peralatan rumah tangganya, di lingkungan kantor tampak kesibukan mengemas seluruh perlengkapan kantor. Pesawat yang turut di boyong ke Lanud Kalijati meliputi 5 buah pesawat Hughes 500 C tiga diantaranya siap terbang (H-500C, H-5010 dan H-5002), sedangkan dua buah lainnya dalan keadaan sedang melaksanakan pemeliharaan berat (H-5003 dan H-5005). Untuk pesawat jenis Bell 47 G soloy sebanyak tujuh buah, tiga diantaranya siap terbang sedangkan empat buah pesawat lainnya dalam kondisi sedang melaksanakan pemeliharaan.

Selama ini rencana kepindahan tersebut sebatas dalam bentuk penugasan, namun berdasarkan radiogram Panglima Komando Operasi TNI AU I Jakarta Nomor : TK/616/89/TKT, tanggal 4 April 1989 tentang rencana pemindahan markas Skadron Udara 7 dari Lanud Atang Sendjaja ke Lanud Kalijati. Dalam perintahnya disebutkan bahwa proses pemindahan Skadron Udara 7 terbagi dalam tiga gelombang, sebagai upaya untuk menyesuaikan kesiapan fasilitas perumahan dan perkantoran di Lanud Kalijati. Untuk menjaga keamanan baik personil mapun materiil dilaksanakan aflos setiap dua minggu sekali.

Tepat tanggal 17 April 1989 gelombang pertama boyongan dilaksanakan, dengan menggunakan jalan darat dan udara meliputi satu flight pesawat Huges 500 C sebanyak tiga pesawat, delapan penerbang dan tujuh teknisi sebagai pendukung. Tahap kedua tanggal 11 Juni 1990 diberangkatkan dengan jumlah satu buah pesawat Hughes 500 C dengan 40 personil dan 16 truk untuk mengangkut peralatan perkantoran, pengawal dan pengawas. Sedangkan gelombang ketiga pada tanggal 13 Juni 1990 diberangkatkan seluruh unsur pesawat Bell-47 G Soloy dan Bell-204 B Iroquois dengan kekuatan 47 personil beserta keluarga dan peralatan rumah tangga lainnya. Dengan demikian resmilah kegiatan “Operasi Boyong 7” yang menandai berakhirnya pengabdian Skadron Udara 7 di Lanud Atang Sendjaja menempati home base-nya yang baru di Lanud Kalijati (sekarang Lanud Suryadarma).